NAMA : LUSIANA SIMALANGO
NIM : RSA1C114009
TUGAS TERSTRUKTUR
REAKSI SAPONIFIKASI PADA PROSES PEMBUATAN
SABUN
Sabun adalah surfaktan yang digunakan dengan air untuk mencuci dan
membersihkan.Sabun biasanya berbentuk padatan tercetak yang disebut batang
karena sejarah dan bentuk umumnya.Penggunaan sabun cair juga telah telah
meluas, terutama pada sarana-sarana publik.Jika diterapkan pada suatu
permukaan, air bersabun secara efektif mengikat partikel dalam suspensi mudah
dibawa oleh air bersih. Di negara berkembang, deterjen sintetik telah
menggantikan sabun sebagai alat bantu mencuci.
Banyak sabun
merupakan campuran garam natrium atau kalium dari asam lemak yang dapat
diturunkan dari minyak atau lemak dengan direaksikan dengan alkali (seperti
natrium atau kalium hidroksida) pada suhu 80–100 °C melalui suatu proses yang
dikenal dengan saponifikasi. Lemak akan terhidrolisis oleh basa, menghasilkan
gliserol dan sabun mentah. Secara tradisional, alkali yang digunakan adalah
kalium yang dihasilkan dari pembakaran tumbuhan, atau dari arang kayu.Sabun
dapat dibuat pula dari minyak tumbuhan, seperti minyak zaitun.
Saponifikasi
(saponification) adalah reaksi yang terjadi ketika minyak / lemak dicampur
dengan larutan alkali. Ada dua produk yang dihasilkan dalam proses ini, yaitu
Sabun dan Gliserin.
Istilah
saponifikasi dalam literatur berarti “soap making”. Akar kata “sapo” dalam
bahasa Latin yang artinya soap / sabun.
Sabun
dibuat dari proses saponifikasi lemak hewan (tallow) dan dari minyak. Gugus
induk lemak disebut fatty acids yang terdiri dari rantai hidrokarbon panjang
(C-12 sampai C18) yang berikatan membentuk gugus karboksil.Asam lemak rantai
pendek jarang digunakan karena menghasilkan sedikit busa. Reaksi saponifikasi
tidak lain adalah hidrolisis basa suatu ester dengan alkali (NaOH, KOH).
Sabun adalah salah satu senyawa kimia tertua yang
pernah dikenal. Sabun sendiri tidak pernah secara aktual ditemukan, namun
berasal dari pengembangan campuran antara senyawa alkali dan lemak / minyak.
Sabun memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
- Sabun adalah garam alkali dari asam lemak suku tinggi sehingga akan dihidrolisis parsial oleh air yang menyebabkan larutan sabun dalam air bersifat basa.
- Jika larutan sabun dalam air diaduk maka akan menghasilkan buih, peristiwa ini tidak akan terjadi pada air sadah. Sabun dapat menghasilkan buih setelah garam-garam Mg atau Ca dalam air mengendap.
- Sabun mempunyai sifat membersihkan yang disebabkan proses kimia koloid, sabun (garam natrium dari asam lemak), digunakan untuk mencuci kotoran yang bersifat polar maupun non polar, karena sabun mempunyai gugus polar dan non polar
Reaksi pembuatan sabun atau saponifikasi menghasilkan
sabun sebagai produk utama dan gliserin sebagai produk samping. Gliserin
sebagai produk samping juga memiliki nilai jual. Sabun merupakan garam yang
terbentuk dari asam lemak dan alkali. Sabun dengan berat molekul rendah akan lebih
mudah larut dan memiliki struktur sabun yang lebih keras. Sabun memiliki
kelarutan yang tinggi dalam air, tetapi sabun tidak larut menjadi partikel yang
lebih kecil, melainkan larut dalam bentuk ion.
Jenis alkali yang umum digunakan dalam proses saponifikasi
adalah NaOH, KOH, Na2CO3, NH4OH, dan ethanolamines. NaOH, atau yang biasa
dikenal dengan soda kaustik dalam industri sabun, merupakan alkali yang paling
banyak digunakan dalam pembuatan sabun keras. KOH banyak digunakan dalam
pembuatan sabun cair karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Na2CO3 (abu
soda/natrium karbonat) merupakan alkali yang murah dan dapat menyabunkan asam
lemak, tetapi tidak dapat menyabunkan trigliserida (minyak atau lemak).
Ethanolamines merupakan golongan senyawa amin alkohol.
Senyawa tersebut dapat digunakan untuk membuat sabun dari asam lemak. Sabun
yang dihasilkan sangat mudah larut dalam air, mudah berbusa, dan mampu
menurunkan kesadahan air. Sabun yang terbuat dari ethanolamines dan minyak
kelapa menunjukkan sifat mudah berbusa tetapi sabun tersebut lebih umum
digunakan sebagai sabun industri dan deterjen, bukan sebagai sabun rumah
tangga. Pencampuran alkali yang berbeda sering dilakukan oleh industri sabun
dengan tujuan untuk mendapatkan sabun dengan keunggulan tertentu.
Bahan pembuatan sabun terdiri dari dua jenis, yaitu
bahan baku dan bahan pendukung. Bahan baku dalam pembuatan sabun adalah minyak
atau lemak dan senyawa alkali (basa). Bahan pendukung dalam pembuatan sabun
digunakan untuk menambah kualitas produk sabun, baik dari nilai guna maupun
dari daya tarik. Bahan pendukung yang umum dipakai dalam proses pembuatan sabun
di antaranya natrium klorida, natrium karbonat, natrium fosfat, parfum, dan
pewarna.
Bahan baku pendukung digunakan untuk membantu proses
penyempurnaan sabun hasil saponifikasi (pegendapan sabun dan pengambilan
gliserin) sampai sabun menjadi produk yang siap dipasarkan. Bahan-bahan
tersebut adalah NaCl (garam) dan bahan-bahan aditif.
Saponifikasi Trigliserida
Minyak sayuran dan lemak
hewani merupakan bahan utama untuk reaksi saponifikasi. Trigliserida dapat
diubah menjadi sabun dalam proses satu atau dua tahap. Pada proses satu tahap,
trigliserida diperlakukan dengan basa kuat yang akan memutus ikatan ester dan
menghasilkan garam asam lemak dan gliserol. Proses ini digunakan dalam industri
gliserol. Dengan cara ini, sabun juga dihasilkan dengan cara pengendapan.
Peristiwa ini disebut dengan salting out oleh NaCl jenuh.
Angka Penyabunan
Dalam reaksi saponifikasi,
dikenal dengan angka saponifikasi atau angka penyabunan. Angka penyabunan
adalah jumlah basa yang diperlukan untuk dapat melangsungkan saponifikasi
terhadap sampel lemak.
Mekanisme Hidrolisis Basa
Mekanisme pemutusan ikatan
ester oleh basa melibatkan reaksi kesetimbangan. Anion hidroksida menyerang
gugus karbonil ester. Produk intermediet disebut dengan ortoester.
Pemutusan alkoksida menghasilkan asam karboksilat.
Alkoksida lebih basa daripada basa konjugat dari asam karboksilat. Dengan demikian, transfer proton menjadi lebih cepat.
2. MEKANISME REAKSI SN 2 DAN
PERBEDAANNYA DENGAN SN 1
Pada dasarnya terdapat 2 mekanisme substitusi nukleofilik yaitu :
Reaksi nukleofil 2 (SN 2)
Nukleofil menyerang dari belakang ikatan C-L. Pada satu keadaan
(keadaan peralihan) nukleofil dan gugus bebas keduanya berasosiasi dengan
karbon dimana substitusi terjadi. Pada saat gugus bebas membawa serta
elektronnya nukleofil memberikan pasangan elektron lain. Lambang 2 digunakan
untuk mekanisme kerja ini sebab reaksi ini adalah bimolekuler atau
dua molekul, yaitu nukleofil dan substrat terlibat dalam 2 tahap kunci (memang
hanya satu-satunya tahap) dalam mekanisme reaksi.
Adapun cara mengetahui suatu nukleofil dan substrat bereaksi dengan
mekanisme SN2 yaitu :
1. Karena nukleofil dan substrat terlibat, kecepatan reaksi bergantung pada
konsentrasi kedua pereaksi tersebut. Reaksi ion hidroksida dengan etil bromide
adalah salah satu contoh reaksi SN2. Jika konsentrasi basa (OH-)
dilipat duakan, kita dapati bahwa reaksi berjalan dua kali lebih cepat.Hasil
yang sama diperoleh jika konsentrasi etil bromide di lipatduakan. Akan kita
lihat segera bahwa sifat kecepatan reaksi begini tidak terdapat pada proses SN1.
2. Reaksi terjadi dengan pembalikan(inverse) konfigurasi. misalnya, jika kita
mereaksikan (R)-2-bromobutana dengan natrium hidroksida, akan diperoleh
(S)-2-butanol. ion hidroksida harus menyerang dari belakang ikatan C-Br. Pada saat
substitusi terjadi, ke tiga gugus yang melekat pada karbon sp3 membalik.
Jika OH menempati kedudukan yang samadengan Br, tentu (R)-2-butanol yang akan
diperoleh.
jika substrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2, reaksi terjadi
lebih cepat apabila R merupakan gugus metil atau gugus primer, dan lambat jika
R adalah gugus tersier. Gugus R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan.
Alasan untuk urutan reaktivitas jika kita menggambarkan mekanisme SN2.
Di bagian belakang karbon, tempat penggantian terjadi, keadaannya akan semakin
berdesakan apabila gugus alkil yang melekat pada karbon yang membawa gugus
pergi semakin banyak, sehingga reaksinya menjadi lambat.
Mekanisme SN1
Mekanisme SN1 adalah proses dua tahap. pada tahap pertama,
ikatan antara karbon dan gugus bebas putus, atau substrat terurai. electron –
electron ikatan terlepas bersama dengan gugus bebas, dan terbentuklah ion
karbonium. pada tahap kedua, yaitu tahap cepat, ion karbonium bergabung dengan
nukleofil membentuk hasil.
Pada mekanisme SN1 substitusi terjadi dua tahap. Lambang 1
digunakan sebab pada tahap lambat hanya satu dari dua pereaksi yang terlibat,
yaitu substrat. tahap ini tidak melibatkan nukleofil sama sekali. dikatakan,
bahwa tahap pertama bersifat unimolekuler.
Adapun cara mengetahui suatu nukleofil dan substrat bereaksi dengan
mekanisme SN2 yaitu :
1. Kecepatan reaksi tidak bergantung pada konsentrasi nukleofil. Tahap penentu
kecepatan adalah tahap pertama nukleofil tidak terlibat. Setelah tahap ini
terjadi, ion karbonium bereaksi dengan nukleofil.
2. Jika karbon yang membawa gugus bebas bersifat kiral,
reaksi mengakibatkan hilangnya aktivitas optic (yaitu, rasemisasi). Pada ion
karbonium, hanya ada tiga gugus yang melekat pada karbon positif. Karena itu,
karbon positif mempunyai hibridisasi sp2 dan berbentuk datar.
3. Jika substrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN1, reaksi
berlangsung cepat jika R merupakan struktur tersier, dan lambat jika R adalah
struktur primer. Reaksi SN1 berlangsung melalui ion karbonium,
sehingga urutan kereaktifannya sama dengan urutan kemantapan ion karbonium.
Reaksi bergantung lebih cepat jika ion karbonium lebih mudah terbentuk.
Jadi, reaksi substitusi nukleofilik terdiri dari dua jenis yaitu substitusi
nukleofilik bimolekuler (Sn-2) dan substitusi nukleofilik unimo-lekuler (Sn-1).
Reaktan yang lazim digunakan untuk reaksi substitusi nukleofilik adalah organo
halida karena ion halogen (X") adalah mempakan nukleofil yang sangat lemah
(gugus pergi) yang baik.
D. Perbandingan Mekanisme SN1 Dan SN2
SN2
|
SN1
|
|
Stuktur
Halida
Primer
atau CH3
sekunder
tersier
|
Terjadi
Kadang –
kadang
Tidak
|
Tidak
Kadang –
kadang
Terjadi
|
Stereokimia
|
Pembalikan
|
Rasemisasi
|
Nukleofil
|
Kecepatan
bergantung pada konsentrasi nukleofil, mekanisme memilih nukleofil anion
|
Kecepatan
tidak bergantung pada konsentarsi nukleofil, mekanisme memilih nukleofil
netral
|
Pelarut
|
Kecepatan
sedikit dipengaruhi kepolaran pelarut
|
Kecepatan
sangat dipengaruhi kepolaran pelarut
|
Berikut ini ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk mengetahui apakah
suatu nukleofil adalah kuat atau lemah.
1. Ion nukleofil bersifat nukleofil. Anion adalah pemberi elektron
yang lebih baik daripada molekul netralnya. Jadi :
2. Unsur yang berada pada periode bawah dalam tabel periodik cenderung
merupakan nukleofil yang lebih kuat daripada unsur yang berada dalam periode di
atasnya yang segolongan. Jadi :
3. Pada periode yang sama, unsur yang lebih
elektronegatif cenderung merupakan nukleofil lebih lemah (karena ia lebih kuat
memegang elektron). Jadi :
Karena C dan N N: ,ยบberada dalam periode
yang sama, tidak mengherankan jika pada ion -:C yang bereaksi adalah karbon,
karena sifat nukleofilnya lebih kuat.
Mekanisme reaksi SN2
Mekanisme reaksi SN2 hanya terjadi pada alkil halida primer dan
sekunder. Nukleofil yang menyerang adalah jenis nukleofil kuat
seperti -OH, -CN, CH3O-.
Serangan dilakukan dari belakang. Untuk lebih jelas, perhatikan contoh reaksi
mekanisme SN2 bromoetana dengan ion hidroksida berikut ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar